Sumbangan untuk Orang yang Mengadakan Hajatan

Daftar Isi

Masalah Mu'amalah No.6 Persoalan Umat dalam pandangan Ulama. Artikel singkat ini memberikan penjelasan tentang hukum sumbangan untuk orang yang mengadakan hajatan yang diambil dari kitab Syarah Syarqawi, Syarah Al-Bajuri, dan kitab I'anatuthalibin.

Sebelumnya kita bacakan shalawat dulu kepada nabi Saw., agar postingan ini tambah berkah.

اللهم صل و سلم على سيدنا محمد و على اله و صحبه أجمعين

Pertanyaan:

Bagaimana status hukum barang atau uang sumbangan untuk orang yang mempunyai hajatan atau kenduri? Apakah akan menjadi utang yang wajib dibayar ataukan tidak?

Berikut Jawaban dan Penjelasan Hukum Sumbangan untuk Orang yang Mengadakan Hajatan

Jawaban:

Sumbangan barang atau uang yang diberikan kepada orang yang mempunyai hajatan adalah ikhtilaf antara hibah dan utang, sebab sudah menjadi adat kebiasaan suka dibayar, bahkan disebut juga "utang sambung". Kecuali yang tidak bisa dibayar, seperti memberi sesuatu kepada anak yang baru dikhitan, atau menyumbang/ memberi sesuatu kepada orang yang akan pergi ibadah haji, dan sebagainya. Ini tidak bisa dibayar, dan karena itu tidak semua orang yang datang kepada orang yang mengadakan khitanan atau sedekah akan pergi ibadah haji itu memberi sumbangan, kecuali hanya beberapa orang saja. Hal ini berdasarkan pada keterangan dalam kaidah Ushul Fiqih:

العادة محكمة
Adat itu bisa dijadikan hukum.

Dalam kitab Syarah Syarqawi, Juz II, hlm. 280, disebutkan:

وان النقوط المعتاد فى الافراح يجب رده كالدين ...... الخ (ويستحي ان يطالب به)
Adapun pemberian sumbangan yang biasa dalam pesta kegembiraan, wajib dibayar atau dikembalikan sebagaimana masalah utang. Bagi yang memberikannya diperbolehkan memintanya kembali, dan tidak apa-apa dengan adat yang tidak biasa menegurnya itu, sebab adat itu berbeda-beda. Banyak orang yang memberikan sumbangan hajatan, tetapi ia malu menegurnya (apabila yang disumbangnya itu tidak membayarnya).

Dalam Syarah Al-Bajuri, Juz II, hlm. 128, menjelaskan:

و النقوط المعتاد فى الافراح يجب ..... الخ (ان يطالب به)
Adapun barang atau uang pemberian sumbangan dalam pesta (hajatan) wajib dikembalikan seperti uang; dan bagi yang memberinya diperbolehkan menegurnya (memintanya kembali). Tidak terpengaruh oleh adat apabila berlaku tidak menegurnya, sebab adat itu berbeda-beda, tidak perlu diperhitungkan (adat begitu), sebab banyak orang yang memberikan sumbangan dan mengharapkan agar dikembalikan, akan tetapi ia malu menegurnya (menagihnya).

Dalam kitab I'anatuthalibin karya Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatho ad-Dimyathi as-Syafi’I yang masyhur dengan julukan al-Bakri, Juz III, hlm. 48 dan 51, dikatakan sebagai berikut:

فلا يصح بيع عين نجسة سواء امكن تطهيرها ....الخ (ولو معلما والخمر)
Kata Syaikhuna (Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami), Pendapat yang masyhur mengenai barang sumbangan dalam hajatan yang biasa sudah menjadi adat, statusnya adalah hibah, bukan utang, walaupun biasanya suka dibayar dengan barang atau uang, umpamanya (barang yang senilai); kecuali dengan memenuhi tiga syarat, yaitu: 1. Yang memberinya mengucapkan (meminjamkan); 2. Diniatkan agar dikembalikan atau dibayar; 3. Sudah biasanya suka dibayar.

Menurut persyaratan ini (yang dijelaskan dalam kitab I'anatuthalibin [di atas]) dapat diambil perkataan para ulama, bahwa sumbangan itu hukumnya menjadi utang.

Demikianlah pembahasan mengenai hukum sumbangan untuk orang yang mengadakan hajatan yang bisa kami tulis kembali disini dari sumber buku Persoalan Ummat dalam Pandangan Ulama dan semoga postingan singkat ini dapat memberi informasi yang jelas serta bermanfaat sampai hari akhir. aamiin

Posting Komentar

banner